Pasar Bebas Dalam Pandangan Islam
Abstrak:
Perdagangan adalah hal
yang tidak terelakkan pada kehidupan manusia. Perpindahan barang dan jasa
selalu terjadi, baik di dalam negeri maupun antar ummat dan antar bangsa,
dengan komoditas biasa dan sepele sampai komoditas strategis dan penting
seperti senjata dan bahan pangan. Hal ini sayangnya saat ini tidak lagi mengacu
pada pemenuhan kebutuhan mendasar manusia saja, namun lebih jauh yakni menjadi
sarana penjajahan dan ladang keuntungan bagi segelintir golongan tertentu. WTO
dan teman-temannya, sudah terbukti tidak mampu melindungi industri negara
berkembang bahkan cenderung mematikannya, menghancurkan perekonomian negara
lain, khususnya negara miskin. Kedaulatan suatu bangsa menjadi terancam ketika
komoditas starategis dan penting seperti pangan telah tergantung dengan negara
lain.
Pendahuluan
Mulai awal tahun ini, siap atau tidak, Indonesia harus membuka pasar dalam
negeri secara luas kepada negara-negara ASEAN dan Cina. Sebaliknya, Indonesia
dipandang akan mendapatkan kesempatan lebih luas untuk memasuki pasar dalam
negeri negara-negara tersebut. Pembukaan pasar ini merupakan perwujudan dari
perjanjian perdagangan bebas antara negara anggota ASEAN (Indonesia, Thailand,
Malaysia, Singapura, Filipina dan Brunei Darussalam) dengan Cina, yang disebut
dengan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Perjanjian perdagangan bebas
ini sebenarnya sudah direncanakan sejak tahun 2002. Lantas, apakah kebijakan
pasar bebas ini akan membawa perubahan nasib rakyat negeri ini yang masih
dihimpit dengan kemiskinan. Bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang hal
ini ?
Silang Pendapat ACFTA
Pihak yang setuju dengan ACFTA, menyatakan dengan
ACFTA memberi peluang Indonesia untuk meningkatkan ekspor ke Cina dan
negara-negara ASEAN. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menegaskan
bahwa free trade agreement (FTA) memberikan banyak manfaat
bagi ekspor dan penanaman modal di Indonesia (Kompas, 5/1/2010).
Konsumen akan semakin diuntungkan dan dimanjakan karena terjadi kompetisi dari
para produsen. Sehingga harga yang terjadi semurah mungkin. Husni Mubarak, (Paramadina,
10/1/2010).
Hal senada juga disampaikan oleh Marzuki Usman bahwa Indonesia sebagai
anggota ASEAN tidak dapat menolak, karena kesepakatan sudah ditandatangani.
Kalau menolak, berarti kita harus keluar dari ASEAN (RMOL,10/1/2010).
Sedang pihak yang menolak, Ernovian G Ismy, Sekjen Asosiasi
Pertekstilan Indonesia menyatakan kekhawatirannya atas pemberlakukan
perdagangan bebas ASEAN-Cina, di antaranya terjadinya perubahan pola usaha yang
ada dari pengusaha menjadi pedagang. Intinya, jika berdagang lebih
menguntungkan karena faktor harga barang-barang impor yang lebih murah, akan
banyak industri nasional dan lokal yang gulung tikar hingga akhirnya berpindah
menjadi pedagang saja (Republika, 4/1/2010).
Mantan Dirjen Bea Cukai, Anwar Surijadi, juga mempertanyakan manfaat
pemberlakukan perdagangan bebas ini bagi masyarakat (Republika,
4/1/2010).
Hal yang sangat dikhawatirkan mengenai dominasi Cina terhadap Indonesia
juga disampaikan Menteri Perindustrian MS Hidayat. Menurut Hidayat, dalam
kerangka ACFTA yang berlatar belakang semangat bisnis, Cina bisa berbuat apa
pun untuk mempengaruhi Indonesia mengingat kekuatan ekonominya jauh di atas
Indonesia (Bisnis Indonesia, 9/1/2010).
Masih banyak lagi kenyataan yang menunjukkan bahwa perdagangan bebas secara
liar justru akan menjerumuskan rakyat ke dalam jurang kemiskinan dan menjadikan
rakyat hanya sebatas konsumen, jongos bahkan lebih buruk dari itu.
Bahaya ACFTA
Sebelum adanya perjanjian perdagangan bebas dengan Cina saja, kita sudah
mendapatkan hampir segala lini produk yang dipergunakan di rumah dan
perkantoran bertuliskan Made in China. Seorang ekonom yang juga
pejabat menteri ekonomi di Kabinet Pemerintahan mengomentari bahwa dengan
dimulainya perdagangan bebas Indonesia-Cina, serbuan produk Cina ke Indonesia
akan “seperti air bah”.
Karena itu, pemberlakuan pasar bebas ASEAN-Cina sudah pasti menimbulkan
dampak sangat negative, diantaranya:
1. Serbuan produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran
sektor-sektor ekonomi yang diserbu. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia
telah mengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data
Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan
mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan
5 tahun ke depan penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami
penurunan US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha
strategis IKM (industri kecil menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada
Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1
miliar hingga Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan
mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk dari Cina (Bisnis
Indonesia, 9/1/2010).
2. Pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang
sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari
produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. “Buat
apa memproduksi tekstil bila kalah bersaing? Lebih baik impor saja, murah dan
tidak perlu repot-repot jika diproduksi sendiri.”(Ade Sudrajat Usman. Bisnis
Indonesia, 9/1/2010)
3. Karakter perekomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah.
Segalanya bergantung pada asing. Bahkan produk “sepele” seperti jarum dan
peniti saja harus diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor,
sedangkan sektor-sektor vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan
dikuasai asing, maka apalagi yang bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi
Indonesia?
4. Jika di dalam negeri saja kalah bersaing, bagaimana mungkin produk-produk
Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan Cina? Data
menunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke Cina sejak
2004 hingga 2008 hanya 24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor Cina ke
Indonesia mencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat
mungkin berkembang adalah ekspor bahan mentah, bukannya hasil olahan yang
memiliki nilai tambah seperti ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat
digemari oleh Cina yang memang sedang “haus” bahan mentah dan sumber energi
untuk menggerakkan ekonominya.
5. ACFTA akan membuat Indonesia mengalami deindustrialisasi, karena produk
hasil industri Indonesia kalah bersaing dengan produk China. Dampaknya,
ketersediaan lapangan kerja semakin menurun. Padahal setiap tahun angkatan
kerja baru bertambah lebih dari 2 juta orang, sementara pada periode Agustus
2009 saja jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,96 juta orang.
Pengangguran besar-besaran pasti akan terjadi. Padahal salah satu cara untuk
menyerap tenaga kerja adalah melalui industri (Ismail Yusanto, RMOL 13/1/2010)
Walhasil, perdagangan bebas yang dijalani Pemerintah Indonesia pada hakikatnya
adalah ‘bunuh diri’ secara ekonomi.
Perjanjian dan Perdangan Luar Negeri Dalam Islam
Sebelum menjelaskan hukum dari perjanjian perdagangan bebas terlebih dahulu
perlu dipahami secara global bagaimana aturan perjanjian luar negeri Khilafah
Islam. Secara umum perjanjian negara Islam dengan negara kafir (dar al-harb) hukumnya
mubah. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:
“Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang
antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian.” (QS An Nisa’ [4]:
90).
“Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara
mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan
kepada keluarganya.” (QS An Nisâ [4]: 92)
Demikian pula Rasulullah SAW misalnya melakukan perjanjian dengan Yuhanah
bin Ru’bah pemilik kota Ilah dan bani Dhamrah.
Syarat-syarat yang disepakati dalam perjanjian tersebut wajib ditunaikan
oleh kaum muslimin sebagaimana halnya negara lain yang terlibat dalam
perjanjian tersebut. Rasulullah SAW bersabda :
“Kaum muslimin (wajib) terikat pada syarat-syarat yang mereka buat.”
Namun demikian syarat tersebut harus sejalan dengan Islam. Jika
bertentangan maka isi perjanjian tersebut harus ditolak dan haram terikat
padanya. Perjanjian netralitas yang bersifat permanen antara dua negara
misalnya, yakni perjanjian untuk tidak saling menyerang sepanjang masa,
perjanjian untuk menetapkan daerah perbatasan secara permanen tidak boleh
disepakati. Ini karena perjanjian tersebut akan membatasi pelaksanaan jihad
fi sabilillah. Demikian pula perjanjian untuk menyewakan pangkalan udara
dan militer kepada negara-negara kafir juga tidak boleh ditandatangani. Ini
karena perjanjian tersebut akan memudahkan negara kafir menguasai negara Islam.
Rasulullah SAW bersabda:
“Semua syarat yang bertentangan dengan Kitabullah maka bathil.”
Adapun perjanjian luar negeri dalam bidang ekonomi, perdagangan dan
keuangan maka secara umum hukumnya mubah karena masuk dalam kategori hukum sewa
atas barang dan jasa (ijarah), jual-beli (bai’), dan
pertukaran mata uang (sharf).
Namun demikian jika di dalam klausul perjanjian tersebut terdapat hal-hal
yang bertentangan dengan syara’ maka tidak boleh disepakati dan
ditindaklanjuti. Sebagai contoh kesepakatan untuk mengekspor komoditi yang
sangat vital bagi negara Islam, mengekspor komoditas yang justru memperkuat
negara lain sehingga dapat mengancam negara Islam atau perjanjian yang
merugikan industri-industri dalam negeri. Semua hal tersebut diharamkan karena
mengakibatkan bahaya (dharar) bagi ummat Islam. Hal ini didasarkan
pada kaedah ushul:
“Setiap individu (bagian) yang masuk dalam kategori mubah jika mengantarkan
pada dharar maka individu (bagian) tersebut dilarang sementara individu
(bagian-bagian) lain yang masuk dalam kategori tersebut tetap mubah.”
Perdagangan Bebas: Haram!
Pada prinsipnya pasar bebas merupakan bagian dari paket liberalisasi
ekonomi. Liberalisasi ekonomi, selain berarti menghilangkan peran dan
tanggungjawab pemerintah dalam sektor ekonomi, kemudian menyerahkan semuanya
kepada individu dan mekanisme pasar (kekuatan penawaran dan permintaan).
Liberalisasi ini sekaligus akan merobohkan hambatan untuk perdagangan
internasional dan investasi agar semua negara bisa mendapatkan keuntungan dari
perdagangan dan mengalirnya investasi.
Pandangan ini jelas bertentangan dengan Islam dilihat dari Empat aspek (Hidayatullah
Muttaqin, jurnal-ekonomi.org, 10/1/2010):
1. Dihilangkannya peran negara dan pemerintah di tengah-tengah masyarakat,
yang notabene harus berperan dan bertanggung jawab terhadap seluruh urusan
rakyatnya. Padahal dengan tegas Rasulullah saw. bersabda:Pemimpin (kepala
negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan
mereka (HR Muslim).
2. Perdagangan bebas, dimana seluruh pemain dunia, bisa bermain di dalam pasar
domestik tanpa hambatan, tanpa lagi dilihat apakah pemain tersebut berasal
dari Dar al-Harb Fi’lan atau tidak, juga jelas bertentangan
dengan Islam. Sebab, Islam memandang perdagangan internasional tersebut berdasarkan
pelakunya; jika berasal dari Dar al-Harb Fi’lan, seperti AS,
Inggeris, Perancis, Rusia, dsb, jelas haram.
3. Perdagangan bebas, dari aspek kebebasan masuknya investasi dan dominasi
asing di dalam pasar domestik, jelas menjadi sarana penjajahan yang paling
efektif, dan membahayakan perekonomian negeri ini. Dalam hal ini, jelas haram,
karena Allah SWT berfirman:
Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir
untuk memusnahkan orang-orang Mukmin (Q.s. an-Nisa’
[04]: 141).
0 Response to "Pasar Bebas Dalam Pandangan Islam"
Post a Comment